Kamis, 16 September 2010

Ketika Angin Tak Bisa Terlihat Lagi

Bintang, inginku berlari menghampirimu lalu memelukmu dan tak akan melepasmu lagi. Bintang, aku merindukanmu. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Aku ingin selalu di sisimu lebih dari apa yang kau bayangkan. Bintang, andai kau ada di sini, kan ku kecup keningmu, kubelai lembut rambut panjangmu, dan kubisikkan cinta di telingamu.
Bintang, entah kapan aku bisa kembali ke sana. Waktu terasa berjalan begitu lambat saat kau jauh di sana. Aku ingin membawamu ke sini. Di sini begitu indah, walau tak seindah jika ku bersamamu.
Bintang, taukah kau bahwa kau selalu hadir dalam setiap mimpi indahku? Taukah kau bahwa aku selalu berangan untuk bisa hidup berdua selamanya denganmu? Oh, Bintang. . tak sanggup ku bendung airmata ini tiap kali ku ingat saat kita bersama.
Bintang, maafkan aku yang mungkin telah lukaimu. Maafkan aku yang mungkin telah buatmu menunggu terlalu lama. Maafkan aku yang tak pernah bisa datang disaat kau membutuhkanku. Tapi, ingatlah Bintang bahwa aku akan tetap setia menunggu waktu untuk bisa kembali memelukmu.

Penuh cinta, Angin.

Aku terdiam membaca serentetan kata dalam surat yang dikirim Angin untukku. Aku juga begitu meridukanmu, Angin. Aku tak pernah tau kau ada dimana, apa yang sedang kau lakukan. Maafkan aku yang tak pernah bisa membalas suratmu karena memang kau tak pernah mencantumkan alamatmu dalam setiap surat yang kau kirim.
Kalau kau tak sempat mengirim surat, kau akan mengirim e-mail untukku. Tapi percuma saja, kau tak pernah memberi balasan dari e-mail yang kujawab. Kau terus mengirimkan kabar untukku tanpa kau pernah menjawab jutaan pertanyaan yang kuajukan untukmu dalam tiap e-mail balasanku. Maafkan aku jika kini aku tak pernah menulis apapun untukmu lagi. Bukan karena ku tak merindukanmu, tapi karena aku terlalu lelah menunggumu.
Angin, kembalilah. . Aku pun ingin memelukmu. Aku ingin bercerita banyak denganmu seperti dulu. Yah, andai saja tiga tahun yang lalu kau tak pergi, mungkin sekarang kita sudah hidup bahagia bersama.

XXX

Sinar mentari yang menembus gorden hijauku yang tipis itu membangunkan tidur lelapku. Hah, aku masih sangat mengantuk. Kubuka gorden itu perlahan sambil menyipitkan mata. Pagi yang cerah setelah hampir tiap hari dalam seminggu ini Kota terus diguyur hujan. Hari Minggu yang indah untuk sekedar membaca buku di taman atau berjalan-jalan di Mall. Yah, aku ingin liburan. Tampaknya membeli beberapa buku di gramedia bukanlah ide yang buruk, lalu pergi membaca beberapa novel yang belum selesai kubaca karena sibuk mengurus skripsiku, sambil menikmati donat di J.co. Semoga hari ini menyenangkan seperti harapanku.
Toett... toett...
Ah, ponselku bunyi. Ada dua sms masuk.

From : mEgaa.nduT

ditaa , loe tau gag sii . . ada kafe baru buka di deket taman . .
lagi harga promosi ! ayoo , kita kesana . . wkwkwk
ditunggu yaa , say ! 

From : tikKa.ponii

sayoong, c ndutt ngajak maen k’kafee !
ikutt yaa, mumpung gaa ujan .
ditunggu loh ! hhe :p

Kafe?? Boleh juga, daripada jalan-jalan sendirian mending terima tawaran mereka. Ide yang bagus. Jemariku mulai menari di atas keypad ponselku.

To : mEgaa.nduT ; tikKa.ponii

ukaylaa ! tampaknya bukan ide yg buruk ! 

Aku sudah siap dengan setelan andalanku . Rambut yang kukuncir asal, kaos hitam dengan cardigan pink favoritku, celana jins dekil, dan sepatu flat warna hitam. Oh, ya tentunya tak kulupakan tas laptop berwarna biru pemberian angin sesaat sebelum ia pergi.
Angin, aku merindukanmu . Hanya kata itu yang dapat kuucapkan setiap kali kuteringat tentangmu.
Tak terasa embun bening nyaris terjatuh lagi dari sudut mata sipitku. Tidak, aku tak boleh menangis lagi! Angin membencinya, Angin tak suka jika aku menangis. Aku harus kuat, aku harus tegar!

“Dita . . maaf ya, pasti nunggu lama. Tadi tuh di jalan macet banget. Maaf ya, sayang ?” seru Tika sambil berlari memelukku.
“Ouhm . . Tika, aku engga bisa napas!” ucapku sambil berusaha melepaskan pelukannya.
“Eh, maaf yaa. Hehe . .” Tika terkekeh lalu mencubit pipiku.
Tak lama berselang, Mega datang sambil membawa sebuah box besar berisi cokelat kesukaanku. “Dita, ini buat kamu. Oh, iya! Gimana kabar Angin kesayangan kamu itu? Dia udah pulang?”
Tak dapat kukatakan apa pun. Aku hanya tersenyum simpul dalam diam. Tak kuketahui bagaimana kabar Anginku. Tak kutahu dimana Anginku berada. Butiran bening embun pun kembali menggenang di ujung mataku. Tak sanggup lagi aku menahan perih ini. Tak mampu lagi mata ini membendung semua embun pertanda lukaku yang begitu menyakitkan. Embun itu pun jatuh membuat lukisan indah dua buah sungai di pipiku. Aku terisak, kepalaku tertunduk. Aku menangis dalam diamku.
Tika segera memelukku, memcium lembut rambut di kepalaku. Ia belai bahuku. Sedangkan Mega, ia menutup mulutnya rapat-rapat. Mega baru tersadar, bahwa dia sudah membuka luka lamaku. Luka yang selalu ingin kupendam. Luka yang ingin kuhapus. Luka yang mungkin takkan pernah usai.

XXX

Aku berlari dan terus berlari. Angin, aku harus menemukannya! Tenggorokanku seperti terjepit, tak ada sepatah kata pun yang mampu keluar dari mulutku. Ah, ada apa ini? Angin, tadi aku melihatnya. Tapi kenapa tak bisa kupanggil namanya? Kenapa disaat aku berlari menghampiri, ia menjauh lalu menghilang? Angin . .

Aku terbangun dari tidurku. Jantungku berdetak cepat. Nafasku tak teratur. Seluruh tubuhku basah oleh keringat. Angin . . Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama sejak kejadian di kafe itu. Seminggu telah berlalu. Tapi kenapa hati ini tak dapat tenang? Selalu kuteringat Angin. Apa yang terjadi denganmu, Angin?
Drtt . .
Ah, ada sms masuk.

From : tikKa ponii

ditaa, cepet k’kafe kemaren !
PENTING !!

Jantungku kembali berdegup kencang. Aku takut . . Aku takut akan mendengar kabar buruk yang tak pernah kuharapkan. Tika, sebenarnya apa yang terjadi?
Aku berlari menuju halaman belakang kafe itu. Tepat di bawah pohon mangga besar, Tika duduk dengan secangkir teh hangat.
Hujan yang turun rintik membasahi bagian atas rambut dan jaket adidasku. Tak kupedulikan orang-orang yang memperhatikan pakaianku. Ah, peduli apa! Yang ku inginkan sekarang hanya penjelasan Tika. Apa yang sebenarnya terjadi?
Tika menoleh ketika aku tepat ada di depan mejanya. “Dita? Kok engga pake payung, sih? Liat kamu basah gitu. Mana masih pake piyama lagi. Cuma ditambah jaket doang . . ckckck”.
Tak kugubris pertanyaannya. Aku langsung duduk disampingnya sampil terus memandanginya. Tika berdehem kecil sambil memainkan poni hitamnya. “Kok, ngeliatinnya kayak gitu, sih? Kenapa?”.
“Apa yang penting sampe kamu nyuruh aku cepet-cepet kesini?”
Tika tersenyum lebar hingga tampak berisan gigi putihnya yang rapi. “Kamu tunggu disini sebentar ya? Aku ada urusan.” Tika pergi sambil tersenyum penuh arti.
Lima menit berlalu, Tika belum juga kembali. Aku mulai khawatir. Kupegang erat ponselku, siap untuk menelepon Tika. Tapi, kuurungkan niatku. Mungkin Tika lagi ketemu seseorang. Aku engga mau ganggu dia.
Tiba-tiba, sebuah tangan hangat menutup kedua mataku dari belakang. Ah, tangan ini . . Parfum ini . . Tidak, tak mungkin ini Angin. Jantungku berdegup kencang, darahku berdesir. Kuturunkan perlahan kedua tangan yang menutupi mataku. Aku menoleh sambil menggigit bibir bawahku. Tanganku berkeringat, padahal hujan masih turun dengan deras.
Astaga! Ya Tuhan, apakah ini mimpi? Tak salahkah penglihatanku ini? Mimpikah aku?
Bibirku bergetar. “Angin?” ucapku lirih.
Lelaki itu tersenyum samar. Dia memegang erat kedua pipiku. Dia mencium bibirku, disini? Di tempat yang ramai orang ini? Aku tak kuasa menahan tangis. Butiran bening itu kembali menghiasi pipiku.
“Bintangku, Andita Permana . .” Lelaki itu memelukku. Tubuhnya hangat. Aku kenal parfum ini, aku tak mungkin salah.
Kubalas pelukan hangatnya. Kudekap erat tubuhnya. Aku menangis dalam sentuh kasihnya. “Riki Saputra, Anginku . .”
Lama kami bertatapan, tak kupedulikan lagi sekitarku. Yang ku inginkan hanya dia, hanya Anginku. Kami tersenyum dengan embun masih menggenang di ujung mata kami. Angin membelai lembut rambut panjangku. Ia berbisik di telingaku. “Bintang, aku cinta kamu.” Ia hapus sungai di pipiku, lalu ia kecup kedua pipi merahku.
“Bintang, jaga diri kamu baik-baik ya? Aku akan selalu melihat kamu dari jauh. Bintang, aku cuma pengen kamu tau, aku sayang kamu melebihi apa pun.” Angin membelai rambutku lagi. Ia kecup lembut keningku. Lalu ia pergi.
Tidak, aku tidak boleh membiarkannya pergi. Aku tak ingin kehilangan dia lagi. Angin . . Jangan pergi . .

“Angin!” aku terbangun dari tidurku. Seluruh tubuhku basah oleh keringat. Kedua pipiku memerah. Mataku bengkak. Mukaku lengket, dan jantungku terus berdebar kencang. “Mimpi . . Semua cuma mimpi? Angin engga pernah datang ke kafe itu? Dan Angin engga pernah pergi lagi?” nafasku memburu cepat, seperti habis berlari kencang. Semua mimpi itu tampak nyata. Angin, apa yang sebenarnya terjadi?
Drtt . .
Sms masuk, sama seperti dalam mimpiku.

From : tikKa ponii

ditaa , cepett nyalain tv . .
liatt chnel 8 !

Ku ambil remote dengan malas. Aku masih cape.

Piip . .

Kunyalakan TV. Berita? Berita apa ini? Seorang reporter cantik duduk di atas sebuah perahu karet.

“Sebuah pesawat menuju Kota terjatuh di Samudera Selatan. Diduga sayap kanan pesawat tersambar petir karena hujan lebat semalam. Para korban telah ditemukan dan dibawa ke Rumah Sakit Sejahtera. Berikut daftar nama para korban.”

Reporter itu melaporkan dari tempat kejadian. Daftar panjang para korban pun muncul di layar TV. Ah, nama siapa itu? Riki Saputra? Anginku? Betulkah dia Angin yang kucintai selama ini?

“Pemirsa, data lengkap para korban dapat anda lihat di website . . .”

Belum selesai reporter itu berbicara, aku langsung berlari menyalakan laptop. Kubuka website channel 8. Ada! Data korban pesawat itu ada! Riki . . Riki Saputra . . Ya Tuhan, ku mohon jangan Anginku. Ku mohon, Riki ini jangan Rikiku. Tapi terlambat . . Doaku terlambat. Foto Anginku muncul bersama dengan data dirinya. Ya, dia Anginku. Dia Anginku yang selalu kutunggu. Dia Anginku yang selalu kunanti. Dia Anginku yang selalu kucintai. Dan dia Anginku, kini telah tiada.

XXX

Bintang, aku akan pulang. Kamu tunggu aku ya. :)
Aku bawa banyak barang untuk kamu. Dan yang pasti, aku bawa cinta aku untuk kamu. Kamu masih nunggu aku kan? Kamu masih cinta aku kan? Aku selalu kangen kamu, Bintang. Setiap malam aku selalu lihat bintang untuk sembuhkan sedikit rindu aku ke kamu.
Bintang, aku harap saat kamu baca surat ini, aku belum sampai disana. Aku harap surat ini sampai lebih cepat dari pesawatku. Bintang, jika nanti kita tak dapat bertemu, izinkan aku memelukmu walau hanya dalam mimpi.
Perasaan aku engga enak, Bintang. Aku takut terjadi sesuatu antara kita. Aku harap, kamu jaga diri baik-baik ya. Aku engga mau kamu kenapa-napa. Bintang, aku sayang kamu lebih dari yang kamu tahu .

Penuh cinta, Angin . .

Ini surat terakhir Angin. Sampai sehari setelah pemakaman Angin. Surat ini terlambat, Angin. Tapi doa kamu terkabul. Kita mungkin emang engga akan pernah ketemu, tapi kita pernah berpelukan walau hanya dalam mimpi.
Angin, kini kamu tak kan pernah bisa kulihat lagi. Tapi yakinlah, cinta kita akan tetap bersemi di lubuk hatiku. Percayalah Angin, aku cinta kamu lebih dari yang kamu tau.


End